Monday 16 November 2015

T is for Thunderstorm

T is for Thunderstorm


Pada Sabtu kelam, pagi yang suram. Langit di atas merajut mendung yang menggantung, sedangkan takdir memintal nasib-nasib manusia di bumi. Kapan sebuah cerita akan berakhir kawan? Tak ada yang tahu.
"Tak ada yang tahu?"
"Iya. Setidaknya sampai detik ini. Kali ini mereka berhasil membuat soal yang benar-benar susah," balas pria berbadan besar dan berhidung bangir itu kepada temannya yang bertopi hitam dan berkulit legam di sebelahnya.
Di bilangan Denpasar, sebelah timur lapangan Renon, tepatnya di jalan raya Puputan, jika kau mengambil arah dari bundaran Renon kira-kira 500 meter setelah itu terdapat sebuah coffee shop di sebelah kanan jalan. Letaknya memang agak tersembunyi, jalur hijau yang ditanami pohon-pohon besar dan berdaun rimbun menyamarkan keberadaannya. Tidak ada papan nama berneon yang biasanya dipasang menjorok di badan jalan. Satu-satunya petunjuk yang bisa digunakan untuk memastikan lokasinya adalah mural seekor zebra yang terlukis di dinding bercat hitam bangunan tersebut. Di atas zebra tadi terdapat tulisan bergaya latin "Coffeinsten".
Nuansa vintage dan gloomy begitu terasa ketika kau melewati pintu masuk, bersamaan dengan wangi khas kopi yang mengepung indera penciuman. Warna merah marun mendominasi berbagai ornamen serta furniturenya. Pada sudut kanan ruangan seorang barista sedang meracik kopi di balik coffee bar sambil berbincang akrab dengan salah satu pelanggan, barangkali temannya, saat dua orang yang baru saja tiba langsung berjalan menghampirinya.
"Halo," sapa ramah si barista berjanggut lebat itu kepada mereka.
Namun perhatian mereka saat ini tak tertuju kepadanya melainkan pada dinding di belakangnya. Ia hanya tersenyum, maklum akan gelagat aneh mereka. Selama bekerja di sana ia telah sering melihat orang-orang yang menunjukkan tingkah sama persis dengan apa yang dilakukan dua orang tadi.
Setiap bulannya papan tulis hitam yang kini tergantung di balik si barista itu berdiri selalu diisi dengan goresan-goresan indah kapur warna. Jika di coffee shop lain biasanya berisikan menu istimewa, di Coffeinstein yang tertulis di sana malah sebuah teka-teki. Tentu saja bukan sembarang teka-teki gampangan, bahkan si pemilik mengklaim orang biasa takkan bisa memecahkannya. Jika ada yang berhasil, maka ia berhak mendapatkan gratis makan dan minum di sana selama satu bulan. Nama si pemenang nantinya akan diumumkan di akun twitter maupun instagram Coffeinstein.
Sudah merupakan sifat alami manusia untuk menentang apapun yang diberitahukan padanya. Jika diminta berjalan, mereka malah berlari. Disuruh berlari, mereka akan berhenti. Maka jika dikatakan tak ada orang yang bisa menjawab teka-teki tersebut, niscaya berbondong-bondonglah orang yang akan menjawab tantangan itu. Branding itu terbukti sukses, di media sosial orang-orang ramai membicarakan kuis dari Coffeinstein. Terutama banyak yang tergiur akan hadiahnya.
Dan inilah teka-teki yang kini sedang berusaha untuk dipecahkan banyak orang dan juga sedang dipelototi dua pelanggan barusan.
Welcome to the new age
Our alphabet have changed too
So reorder it
The key is me

rumajnyg
Pria besar itu melirik sekilas kepada temannya yang sedang berpikir keras di sampingnya; tangan terlipat erat di dada, satu tangan memegangi ujung dagunya yang tampak baru dicukur.
"Bagaimana? Apa ada yang terpikir olehmu?"
Yang ditanya mengacuhkan pertanyaan tadi. Kepalanya yang tertunduk dalam-dalam semakin tampak tenggelam dalam bayangan topinya yang jatuh di wajah hingga rasanya timbul nuansa suram nan seram. Melihat itu, si pria besar mengurungkan niatnya untuk mengusik temannya.
"Haaa!" teriak si pria bertopi tiba-tiba. Udara mungkin ikut bergetar karena terkejut. Seperti orang kerasukan saja, ia megucapkan hal-hal ganjil, "Minta kertas...eh, rasanya nggak usah saja. Kalau pakai ini lebih mudah," seraya merogoh kantong celananya dan kembali sibuk dengan dirinya sendiri.
Lima menit berlalu, terpaku dalam keheningan. Bagi si pria besar, lima menit penantian yang membosankan itu terasa sangat lama. Kakinya sampai kesemutan. Namun bagi si pria bertopi, lima menit itu lewat dalam sekelebat saja. Ia hampir sampai di pusat labirin teka-teki itu. Gema jantungnya yang terpacu adrenalin memenuhi relung telinganya. Memantul-mantul kencang. Berdetak-detak lantang.
Dan ia mengucapkannya, kata ajaib pembuka gerbang harta karun Ali Baba.
....
Hal terakhir yang didengarnya adalah ledakan confetti. Matanya menangkap warna-warni potongan kertas-kertas kecil berkerlap-kerlip di udara dan ubin lantai yang dingin mencium pipinya. Bunyi debum tulang yang tak mampu lagi melawan grafitasi.
Temannya berjingkat kaget. Si barista hanya bisa melongo. Para pelanggan keheranan. Tak ada seorang pun di sana yang tahu jika jantungnya lemah. Kejutan kecil yang disiapkan sekedar untuk menunjukkan ungkapan selamat itu justru menjadi pengiring kematiannya. Nanar dan akhir.

0 comments:

Post a Comment