Wednesday 22 September 2021

The Girl Who Sat Idly

 


 

Ada beberapa saat ketika kita benar-benar mendambakan keheningan walau hanya sejenak dalam dunia yang tidak pernah berhenti bicara. Sebagian orang memilih mengunci diri di dalam kamarnya, tenggelam dalam buaian nada lagu kesukaannya atau menyepi ke sebuah pulau kecil, dengan hanya ditemani deburan ombak dan belaian hangat angin pantai. Sedang tempat pilihanku adalah di sini, di sebuah perpustakaan sekolah yang kebanyakan pengunjungnya hanyalah para murid yang berebutan menggunakan komputer berinternet untuk membuka beberapa situs sosial media macam Facebook dan Twitter secara sembunyi-sembunyi daripada menikmati bacaan dari buku atau majalah yang makin lama makin berdebu dan digerogoti kutu.
Kubanting pantatku ke sebuah kursi empuk khusus petugas perpustakaan, mengistirahatkan kakiku yang pegal setelah lama berdiri usai mengajar Bahasa Inggris di kelas 8-D. Selain mengajar, di SMP ini aku juga diserahi tanggung jawab mengurus perpustakaan. Walau sebenarnya aku yang mengajukan diri dalam rapat kala pendahuluku mengumumkan pengunduran dirinya.

Seperti biasa, ruang perpustakaan masih kosong. Hanya tampak Yunita, pegawai magang yang baru beberapa bulan di sini, sedang merapikan rak buku di sudut perpustakaan yang memuat buku-buku pelajaran mengenai ilmu geografi. Ia lantas menyambutku dengan suara empuknya yang khas.
"Pagi, Bu Laras."

"Pagi juga. Nah, lebih cantik rambutmu dipotong pendek sebahu begitu, kan. Kenapa kamu tidak melakukan saranku dari dulu-dulu?"

"Ah, Ibu bisa saja," jawabnya malu-malu lalu melangkah mendekatiku.

Kuperhatikan ada sebuah buku dalam keadaan terbuka ditelungkupkan di meja baca.
"Buku itu," kataku sambil menunjukkan jari, "siapa yang baca?"

"Oh iya, tadi ada seorang anak cewek dari kelas 8-A sedang mencari Ibu. Dia bilang mau ke luar sebentar."

8-A adalah kelas dimana aku menjadi wali kelasnya. Aneh, memangnya ia sedang tidak ada pelajaran? Soalnya sekarang belum masuk waktu istirahat. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu perpustakaan. Seketika Yunita dan aku berpaling.

"Permisi, Bu Laras."

"Itu dia anaknya," seru Yunita.

"Masuk sini, Din," sahutku. Ternyata anak cewek yang dimaksud Yunita tadi adalah Dini. Sebenarnya aku tidak terlalu hafal dengan nama murid-murid yang kuajar. Kecuali kalau dia paling menonjol dalam kelasnya, baik dalam artian positif maupun negatif. Dini termasuk contoh yang menonjol dari segi positif, anaknya pintar dan cepat menangkap pelajaran. Walaupun ia hampir selalu memasang tampang murung, sepengetahuanku dia tidak pernah terlibat masalah berarti dengan temen sekelasnya.
Setelah ia mengambil tempat duduk di depanku, aku segera bertanya. "Ada apa?"

"Ng, saya kehilangan HP, Bu," cetus Dini, kepalanya ditundukan dalam-dalam.

"Hah, HP yang handphone itu?" sontak Yunita menimpali.

Aku langsung menoleh dan meliriknya tajam, berharap ia segera menyadari posisinya saat ini. Butuh sekian detik untuk Yunita mengerti isyarat yang kuberikan, kemudian ia beranjak pergi sambil menggumamkan sesuatu yang tak jelas.

"Hilang dimana, Din?"

"Di kelas. Saat itu saya sedang mengerjakan tugas dari Pak Randu yang hari ini tidak bisa mengajar karena sakit. Karena teman-teman ribut sehingga mengganggu konstentrasi, jadi saya memutar musik melalui HP. Tak lama, Frestya datang dan meminta saya untuk menemaninya ke kamar kecil," jelasnya. "Sekembalinya kami dari sana, HP yang sebelumnya di atas meja sudah tidak ada. Saya kira, ini bukan perbuatan iseng teman-teman seperti sengaja disembunyikan untuk membuat saya kebingungan. Karena saya sempat menggunakan HP milik Frestya untuk mengeceknya. Namun dari nadanya, seperti sudah dimatikan. Seperti nasihat Bu Laras, tanpa memberitahu siapa-siapa, saya segera kemari."

Memang aku pernah memberi wejangan kepada para muridku, jika ada sesuatu terjadi di lingkungan kelas, mereka harus memberitahuku dulu. Ini gara-gara kejadian beberapa bulan lalu, saat itu seluruh kelas heboh bukan main gara-gara ada seorang murid yang mengaku kehilangan dompet berikut uangnya. Murid itu tanpa babibu lagi, langsung menuduh teman sebangkunya. Tak terima, terjadi adu mulut hingga baku hantam, sampai- sampai seluruh murid di kelasku ikut-ikutan berkelahi. Setelah diusut, ternyata ada seorang murid yang usil menyembunyikan dompet itu. Niatnya bercanda malah berujung keributan seperti itu.

"Siapa saja yang di kelas saat itu?" Tanyaku penuh selidik.

"Banyak, saya tidak bisa mengingat semuanya."

"Surya ada?"

Hening sebentar, mungkin Dini mengerti mengapa aku menyebut namanya.

"Ya, ada. Saya rasa Surya sedang tiduran di bangku belakang."

Aku menghela napas panjang. "Kalau begitu, tolong suruh dia ke sini. Tapi jangan kamu kasih tahu alasannya. Setelah itu, kamu tunggu di depan ruang guru, ya..."

Dini mengangguk dan berbalik. Sebelum keluar, ia masih sempat mengembalikan buku yang tadi dibacanya ke dalam rak buku.

Surya, si preman kelas. Dia salah satu contoh murid yang pasti ada di setiap sekolah. Tukang bully, bandel, pembuat onar, tak pernah menyimak pelajaran, dan seterusnya, dan sebagainya.
Sosoknya yang tinggi sekaligus gempal dan rambut bergaya mohawk, dengan mudah kukenali dari kejauhan ketika ia berjalan kemari dengan lambannya. Pertanyaannya, bagaimana aku harus bersikap terhadap anak ajaib satu ini?

"Ya, Bu?" ucapnya begitu ia berada di hadapanku sambil berkacak pinggang.

"Duduk." Kurasa ini jawabannya. Surya akan kutangani dengan tegas serta tanpa basa-basi.
"Tadi ada temanmu yang lapor ke Ibu kalau dia baru saja kehilangan HP-nya. Kamu tahu?"

"Tahu apa? Mana aku tahu hal macam itu!" dengusnya kesal.

"Sewaktu jam kosong tadi, kamu dimana?"

"Di kelas. Tidur. Puas?"

Aku hendak membalas bentakannya tadi, tetapi seketika itu juga dia melanjutkan perkataannya.

"Gini deh, Bu. Ibu kan tahu, minggu kemarin saya baru dipanggil untuk menghadap Pak Kepsek akibat kasus pemalakan itu, kemudian diberi hukuman. Nah, hukumannya itu kalau saya terlibat kasus lagi, maka saya akan dikeluarkan dari sekolah. Terus terang saja, saya masuk sekolah ini karena tertarik dengan tim basketnya yang terkenal hebat dan menjadi pebasket adalah cita-cita saya. Sebab itu, saya berusaha untuk tidak terlibat dalam kasus apa pun sekarang. Boleh saja Ibu mengira saya ini murid yang nakal atau bodoh, saya tidak peduli. Tapi saya bukan pembohong. Lagipula, kalau hanya HP saya juga punya," katanya sambil mengeluarkan sebuah HP dari dalam saku celananya dan mengulurkannya padaku. "Nih, Ibu periksa sekalian, apa sama dengan HP anak yang kehilangan itu. Omong-omong, siapa sih dia?"

Aku tak segera menjawab pertannyaannya. Perhatianku sedang tertuju pada wallpaper yang digunakan Surya pada HP-nya. Wallpaper itu berupa foto dirinya memakai seragam basket sekolah.
"Dini Pradita."

"Dini?" Surya membeo. "Ah, saya ingat beberapa hari lalu dia berseteru dengan duo keong racun. Dini rupanya kehabisan kesabaran lantaran mereka terus-terusan mengejek HP miliknya."

"Tolong kamu panggil mereka ke sini, Sur.

"Ya," balasnya singkat lalu mengambil kembali HP miliknya dan memasukkannya ke dalam saku celana.

====


Tak lama kemudian Eva dan Dewi tiba, mereka berdualah yang disebut sebagai duo keong racun oleh Surya dan kebanyakan murid di kelasku. Alasan mereka berdua disebut begitu aku juga tidak mengerti, mungkin anak-anak hanya mengaitkannya karena mereka selalu terlihat kompak berdua. Kompak dalam konotasi yang tidak baik.

"Kata Surya, Ibu ada perlu dengan kami," ujar Eva tanpa menatap wajahku. Jari telunjuknya terus memilin-milin rambutnya. Dewi yang berada di samping kanan Eva juga sibuk sendiri tak memperhatikanku. Matanya tampak terpaku pada layar HP-nya.

Aku menghela napas panjang. "Ibu dengar beberapa hari lalu kalian sempat bertengkar dengan Dini gara-gara kalian menjelek-jelekan HP Dini. Betul begitu?"

Mereka berdua lantas saling berpandangan. Eva terkekeh perlahan, sedang Dewi menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali bermain dengan HP miliknya.
"Ah, Ibu berlebihan." Jawab Eva dengan nada yang dimanis-maniskan. Ia meneruskan, "Sebenarnya waktu itu kami sedang bercanda. Apa Ibu belum pernah melihat HP-nya? Layarnya retak, casing-nya ditempeli banyak sticker mungkin untuk menutupi bagian yang terkelupas atau berkarat, dan modelnya juga sudah agak jadul. Pokoknya norak, deh. Lagipula kejadiannya kan sudah lama. Mengapa anak itu baru sekarang mengadu kepada Ibu?"

Seketika Dewi menimpali sahabatnya, "Mungkin dia punya cacat otak jadi butuh waktu lama untuk merespons kata-kata kita, Ev."
Dan meledaklah tawa mereka berdua.

Kubayangkan diriku mendadak bangkit sambil menggebrak meja. Menampar pipi kedua anak itu sambil mengeluarkan sumpah serapah. Namun kemarahan hanya menghabiskan energi tanpa pernah menghasilkan solusi. Aku kembali menghirup udara dalam-dalam, menjejalkannya ke paru-paru, lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Huff.
"Dini memang mengadukan sesuatu kepada Ibu, tapi bukan tentang perselisihannya dengan kalian. Ibu mengetahui hal itu dari orang lain. Dini baru saja kehilangan HP saat ia tinggal ke toilet."

Eva dan Dewi kembali tertawa.

"Oh, jadi Ibu menuduh kami yang mengambil HP Dini yang jelek itu?" kata Eva setelah tawanya berhenti.

"Barangkali, Bu Laras belum tahu ya Ev, kalau harga HP kita bisa 5 kali lipat dari punya Dini," sambung Dewi.

Saatnya melakukan serangan balasan. "Mengapa kalian bisa begitu bangga? Apa yang sekarang kalian sombongkan itu bukan murni kepunyaanmu melainkan ayah ibu mu. Kalau saja kedua orang tua kalian melihat tingkahmu ini, mungkin mereka akan menyesal sudah melahirkan kalian."

"Terserah!" Hardik Eva seraya membuang muka. "Yang jelas bukan saya yang mengambil HP Dini. Sejak tadi saya dan Dewi berada di kantin."

"Betul, coba saja tanya ibu penjaga kantin. Kami punya alibi. Ayo cabut, Ev!" tambah Dewi tak kalah sengitnya.

"Ayo."

Pergi saja, sekalian yang jauh ke laut, batinku kesal. Kusandarkan punggungku ke kursi, meluruskan punggung yang semakin lelah karena kasus ini. Mataku menerawang menembus jendela perpustakaan ke lapangan basket yang terlihat masih sepi.
Masih terngiang di telingaku kalimat terakhir Dewi sebelum ia dan Eva angkat kaki dari sini. Sesaat aku merasa yakin mereka yang melakukannya berkat informasi dari Surya tadi. Namun seandainya memang benar mereka berdua terus berada di kantin, lalu siapa pelaku sebenarnya?

Sebuah suara lantas membuyarkan lamunanku.
"Siang..."

"Yaa," jawabku enggan. Dari balik pintu nampak sebuah kepala mengintip dengan malu-malu. Tapi dari kacamata berbingkai tebal yang sedang ia kenakan, aku bisa dengan gampang mengenalinya. "Masuk saja, Bintang."

"Begini, Bu Laras," katanya begitu mendekatiku. "Pak Randu tadi memberi tugas matematika karena beliau berhalangan hadir. Ternyata ada salah satu soal yang rumusnya tidak ada di buku pelajaran. Boleh saya memakai komputer perpustakaan sebentar untuk mencari rumus tersebut?" pintanya kemudian.

Nama itu doa. Bintang memang seorang bintang kelas. Hal itu bisa dilihat dari nilai-nilai yang ia peroleh selalu di atas 8. Selain itu ia juga seorang atlet catur dan acap kali menjuarai turnamen yang diikutinya.
"Pakai saja, tidak apa-apa."
Tiba-tiba aku teringat akan kejadian seminggu lalu yang menimpa orang tua Bintang. Mereka terlibat kecelakaan di jalan saat berboncengan naik sepeda motor. Sebuah minibus yang ngebut menerobos lampu merah dan seketika menghajar mereka. Ibu Bintang hanya mendapat beberapa luka lecet di lengan dan kakinya, namun ayahnya tak seberuntung itu. Kepalanya sobek dan harus mendapat 8 jahitan. Kudengar ia juga mengalami gegar otak. "Omong-omong, bagaimana kondisi kesehatan ayahmu? Sudah sehat?"

"Hari ini sudah agak baikan. Tapi Bapak belum bisa bekerja."

"Oh, semoga lekas pulih ya."

Bintang tak menjawab apa-apa, melainkan melemparkan senyuman. Senyum getir yang sama dan sering kulihat pada orang yang menghargai simpati orang lain atas musibah yang terjadi padanya. Mungkin agak berat baginya. Ayahnya cuma seorang tukang tambal ban dan ia juga satu-satunya tulang punggung keluarga. Motor yang dipakai saat terjadi kecelakaan itu milik tetangga yang dipinjamkan kepadanya dan kini sedang rusak berat. Belum puas dengan itu, nasib kembali menghantamnya dengan masalah rumah mereka --kalau tidak mau disebut gubuk sebab saking sederhananya-- yang rencananya bulan depan akan digusur karena berdiri di atas lahan pemerintah bersama puluhan pemukiman liar di areal sana.
Aku kembali teringat akan masalahku.
"Bintang, apa sedari tadi kamu berada di ruang kelas?"

"Iya, saya disana terus."

Dan aku mulai bercerita. Semuanya.
Ekspresi wajah Bintang cenderung datar. Sesekali dia mengerutkan dahi mungkin karena berusaha mengingat sesuatu, namun tak pernah menyela ucapanku.
"Jadi begitulah. Bagaimana menurutmu?"

"Rupanya suara musik yang samar-samar saya dengar selama di kelas itu berasal dari HP Dini, ya. Hmm, tapi saya tak ingat kapan musik itu berhenti. Saya juga tak tahu saat Frestya dan Dini meninggalkan kelas. Kalau mengenai Surya yang tidur di belakang, saya meyakini itu karena bangku yang dia jadikan tempat tidur tepat di belakang saya." Ia melanjutkan, "Begitu juga tentang Eva dan Dewi. Karena setahu saya, mereka langsung melonjak-lonjak kegirangan dan bergegas keluar saat seorang murid dari kelas sebelah memberikan kabar bila Pak Randu tidak bisa mengajar hari ini."

Penuturan Bintang itu melecut nalar, membuka pikiranku. Aku merasa berada di dalam pertunjukan opera, menggambarkan diriku duduk di tengah-tengah kursi penonton menghadap ke sebuah panggung dimana sedang dipentaskan sebuah drama tentang pencurian di suatu ruangan kelas.
Gesekan biola yang merdu menghanyutkan emosiku. Lakon demi lakon dipentaskan dengan apik oleh Dini, Surya, Eva, Dewi, dan terakhir Bintang. Hingga mencapai akhir babak, mereka semua berkumpul berjajar sambil bergandengan tangan. Penerangan menjadi redup. Bunyi drum yang ditabuh dengan cepat dan sebuah lampu sorot berkali-kali menampakkan wajah mereka silih berganti.
Sampai pada akhirnya iringan musik berhenti. Sunyi. Lampu sorot tadi berhenti pada seseorang yang tak pernah kuduga sebelumnya. Tepuk tangan penonton bergemuruh. Tirai diturunkan.

Ternyata dia!

0 comments:

Post a Comment