Wednesday 22 September 2021

Crime: My Neighbour is Sherlockian




 Memang menyebalkan kalau saat kita sedang asyik tidur kemudian dibangunkan secara paksa, sengaja atau tidak. Seperti pagi ini, padahal baru saja sekitar 2 jam yang lalu tertidur setelah bangun untuk makan sahur, si kecil yang baru beranjak 9 bulan sudah teriak-teriak minta "sarapan". Untung saja istriku sudah terbangun dari sejak sahur tadi dan memang dia punya kebiasaan untuk tidak tidur lagi setelah makan sahur, jadi anakku tidak menangis terlalu lama. Tapi itu semua sudah tidak ada gunanya karena mata dan otakku sudah benar-benar terjaga dan menolak untuk berkompromi dengan badanku yang masih saja merasakan kuatnya tarikan gravitasi kasur.

Akhirnya, kuseret kakiku ke wastafel untuk sekedar mencuci muka dan kemudian menuju halaman belakang agar aku bisa mengirup udara pagi yang segar sembari meregangkan otot-otot yang kaku. Aku lebih menyukai halaman belakang daripada teras di depan rumah untuk sekedar berolahraga ringan. Bukannya apa-apa, aku hanya tidak senang para tetangga memelototi celanaku yang mungkin saja melorot waktu aku sedang membungkuk, walaupun saat ini sudah hampir tidak ada orang di perumahan ini karena ditinggal mudik oleh para penghuninya.

Ketika kubuka pintu menuju halaman belakang, badanku yang lemas tadi tiba-tiba hampir terlompat saking kagetnya bagai tersengat listrik. Handle dan anak kuncinya kini sudah tidak keliatan seperti biasanya lagi, seperti habis dibongkar dengan paksa karena memang kelihatan ada bekas pencongkelan di sana-sini. Aku segera berteriak memanggil istriku.
"Ma, kok pintunya rusak?"
"Pintu apa sih, Pa?" Rupanya dia masih berada di dalam kamar.
"Kesini dulu deh." Segera setelah dia menghampiriku, aku memperlihatkan pintu yang rusak itu.
"Lho, Mama gak tau. Tadi malem Mama kunci pintunya pas mau berangkat tarawih masih bener, kok."
"Jadi Mama gak buka pintunya dari semalem ya? Hmm, masa' maling sih, Ma?" tanyaku dengan nada menggantung.
"Apa yang diambil, Pa? Perasaan perabotan masih ada semua waktu pagi tadi mama bersih-bersih." Suaranya terdengar khawatir sekaligus tak percaya.
"Coba liat-liat lagi deh. Cek juga surat-surat berharga sama perhiasan Mama."

Sesaat setelah istriku pergi, aku termenung mengamati pintu belakang yang sudah rusak itu. Kucoba untuk tetap tenang dan memikirkan masalah ini dengan kepala dingin. Aku juga melihat keadaan sekitar halaman belakang dan berusaha merekonstruksi dalam pikiran bagaimana maling itu bisa masuk ke dalam rumah.
Tepat saat aku membayangkan si maling ini melompati salah satu dinding di samping rumah yang bersebelahan dengan rumah tetangga, tiba-tiba saja kulihat sesosok kepala yang matanya memandangiku dengan tajam. Aku kaget bukan main. Rupanya hanya di permukaan saja aku bisa mengatur ketenanganku, jantungku berdegup dengan sangat kencang hingga rasanya seperti akan meledak.
Dan sesosok kepala itu kemudian menyeringai memamerkan barisan giginya yang tampak putih dan teratur. Terlebih lagi dia menyapaku,
"Pagi Pak Wilson...Wah, wah, sepertinya saya sudah membuat kaget Bapak. Maaf kalau kesannya menguping, tapi tadi saya mendengar ribut-ribut dari arah rumah Bapak dan rasa keingintahuan saya yang besar memaksa tubuh saya mengambil tindakan seperti ini."

Aku tertegun beberapa detik, tidak tahu harus berbuat apa. Ternyata sosok kepala yang tadi mengagetkanku itu adalah tetangga sebelahku, Pak Omes. Tidak banyak yang kutahu dari dirinya, kecuali kenyataan bahwa dia tinggal sendirian. Kuakui, aku memang kurang bergaul dengan tetangga sekitar. Berbanding terbalik dengan istriku, dia sepertinya tahu latar belakang dan pekerjaan hampir semua orang di lingkungan perumahan ini.
"Jadi, ada apa Pak Wilson?" tanyanya.
"Tuh," aku mengangkat bahu sembari menunjuk pintu belakang, "sepertinya saya habis kemalingan semalam".
"Hah?" Dari nada suaranya, dia terdengar terkejut mendengar perkataanku tadi. Kuamati wajahnya yang semula menunjukkan sikap ramahnya kini berubah serius. Yang lebih mengejutkan lagi, dia kemudian melompati dinding setingi hampir 2 meter itu dan berjalan menghampiriku.
"Permisi sebentar," ucapnya sambil mengamati pintu belakangku. Tak beberapa lama, dia menggumamkan sesuatu. Aku hampir-hampir yakin dia bergumam 'amatiran' atau semacam itulah.
"Lho, ada Pak Omes," seru istriku yang tampaknya sudah selesai melakukan tugasnya, "kok tadi gak denger ya ada orang masuk dari pintu depan?"
"Halo Bu Wilson. Maaf bertamu pagi-pagi begini dan memang saya tidak masuk dari pintu depan," sahut tetanggaku sambil tersenyum ramah. Ah, rupanya dia sudah kembali ke sikapnya yang semula.
"Hah, jadi lewat mana?" tanya istriku yang segera kupotong dengan pertanyaan juga.
"Ada yang hilang nggak, Ma?
"Sudah mama periksa semua, Pa. Tapi beneran deh, gak ada yang hilang."
"Aneh sekali kalo begitu. Mungkin malingnya tidak sempat mengambil apapun karena kita sudah keburu datang." Ya, sepertinya itu memang alasan yang paling masuk akal.
"Ehem..." hampir saja aku melupakan Pak Omes ada di sebelahku, "keberatankah kalau Pak Wilson menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, mungkin saya bisa membantu."
Aku melirik ke istriku, meminta persetujuannya. Dia mengangkat kedua alisnya dan sambil menghela napas, aku menceritakan semuanya secara singkat.

"Oh, jadi kalian merasa tidak ada sesuatu yang hilang ya. Walaupun ada bekas-bekas rumah Anda dimasuki secara paksa. Aneh sekali kan."
"Aku juga sudah bicara seperti itu tadi, Pak Omes," sindirku tak sabar dan kurasakan dadaku disikut oleh istriku yang sepertinya tidak suka dengan ucapanku tadi.
"Apa dia salah memasuki rumah ya? Mungkin dia berniat memasuki salah satu rumah kosong di sekitar sini dan mengira rumah kita ini juga kosong."
"Entahlah, Ma. Kejadian ini membuatku bingung. Biasanya jika kemalingan, hal yang paling diperhatikan adalah siapa orang yang melakukannya, kan. Tapi sekarang ini, benda yang diambilnya saja kita tidak tahu."
"Kalau masalah siapa yang mengambilnya sih, sepertinya bukan hal yang sulit," sahut Pak Omes
Aku memandanginya dengan heran. Mana mungkin dia bisa tahu siapa orangnya sedemikian cepat.
"Siapa?"
"Sabar dulu, Pak Wilson. Segala sesuatu itu harus dilakukan secara teratur dan metodis. Bahaya sekali jika kita mengambil kesimpulan dengan sembarangan. Yang kita butuhkan saat ini adalah data dan fakta. Oleh karena itu, tolong jawab dengan jujur, baru-baru ini apakah kalian pernah menerima tamu dari luar perumahan ini? Eh, tidak pernah. Ya, ya, ini petunjuk yang bagus sekali. Tepat seperti dugaan saya semula. Omong-omong, apakah kalian selalu mengunci pintu kamar tidur jika bepergian? Disana kan kalian menyimpan semua benda berharganya?"
"Ya benar, kami selalu menguncinya. Sudah menjadi kebiasaan. Masih terkunci kan semalem, Ma?"
"Masih, Pa. Mama ingat betul."
"Tapi kalian tidak mengecek pintu belakangnya juga ya. Sebab itu kalian baru mengetahui sekarang kalau pintunya sudah dirusak."
Hening sebentar. Semua orang sepertinya sedang memikirkan kejadian aneh itu. Tak berapa lama, Pak Omes kembali angkat bicara.
"Boleh saya melihat-lihat rumahnya?"
Aku pun mempersilahkannya memasuki rumah kami. Sebenarnya aku sempat heran juga dia berkata begitu tadi. Toh, rumah kita setipe dan pasti tata letak ruangannya sama saja. Yang membedakan mungkin hanya perabotannya saja. Tapi aku tidak sempat menanyakannya, karena dia sudah ngeloyor pergi ke teras depan rumah.

"Perasaan baru 2 minggu yang lalu Bu RT sekeluarga jalan-jalan ke luar kota, sekarang dia sudah pergi lagi. Dia punya hobi yang sama denganmu, Wilson."
Walaupun nada bicaranya terdengar biasa saja, kulihat ekspresi wajah Omes tampak tak begitu senang. Dia menundukkan kepalanya begitu dalam sampai-sampai dagunya menyentuh dadanya. Kemudian dia memutuskan untuk melihat keadaan rumah keluarga Bu Isti sebelum menuju ke rumah Bella.
Tampaknya tidak ada yang aneh di sana. Namun tak diduga-duga, Omes melompati pagar rumah itu dan mencoba mengintip ke dalam lewat jendela. Dia mendapati salah satu jendela belum terkunci dan sambil menoleh ke arahku, Omes mengangkat kedua alisnya seolah-olah mengatakan, 'mereka benar-benar terburu-buru, hingga lupa menutup jendela ini'. Omes lalu mengambil sebuah pot yang tumbuhannya memiliki batang yang tinggi dan meletakkannya di depan jendela yang tidak terkunci itu, mungkin maksudnya untuk menyamarkannya dari pandangan orang yang memiliki niat tidak baik.

"Yah begitulah tetanggaku Wilson," katanya dalam perjalanan kami menuju ke rumah Bella, "kita memang tak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan. Sekarang yang tersisa cuma gadis kecil 7 tahun yang secara logis tidak mungkin bisa melompati dinding yang tingginya dua kali dari tinggi badannya."
"Entahlah," kemudian aku ingat dia masih belum menyelesaikan penjelasannya tentang keyakinannya kalau pelaku kejadian ini adalah orang dalam perumahan, aku mencoba untuk memancingnya lagi. "Bisa saja kan pelakunya malah bukan salah satu diantara mereka bertiga?"
"Curiga saja kau ini, Wilson. Saya akan menyimpulkan hal tersebut jika penyelidikan ini sudah menemui jalan buntu. Seperti sudah saya bilang tadi, perumahan ini dibangun dengan sistem keamanan yang tinggi. Hal itu yang membuat saya mengesampingkan teori kalau pelakunya orang luar. Juga dari bekas-bekas perusakan yang saya lihat, itu pekerjaan orang amatir. Dengan kata lain, dia tidak pernah melakukan tindakan ini sebelumnya. Ditambah lagi, dia tahu kebiasaanmu."
Aku mengerutkan dahi keheranan dengan pernyataan terakhirnya.
"Kebiasaan?"
"Ya, kebiasaan sehari-seharimu, yang hanya bisa diketahui oleh orang yang tinggal berdekatan denganmu."
"Kebiasaan apa?"
"Kau hampir pasti berangkat tarawih bersama istrimu saat akhir pekan atau sedang hari libur seperti seperti sekarang ini. Saat hari-hari kerja, kadang-kadang pulangmu bisa sampai malam sehingga tidak mungkin mengikuti tarawih di masjid."
"Wah, ada ya tetangga yang seperti itu?"
"Kalau pun mereka tidak hobi mengamati seperti yang biasa saya lakukan," aku bergidik ngeri dengan perkataannya barusan, "pastilah dia mendengarnya dari istrimu yang memang gemar bersosialisasi dengan para tetangga."
Itulah sebabnya terkadang aku benci kalau istriku sedang ngerumpi dengan ibu-ibu di sini.
"Yah, sebenarnya aku bukan muslim yang baik, istriku lah yang sering menyuruh agar kami berangkat bersama. Saat sedang shalat, anak kami dititipkan ke..."
"Orang yang sering datang ke rumahmu tuk bantu-bantu membersihkan rumah kan?" selanya. "Tidak usah terkejut begitu, istrimu juga yang bercerita."
Sungguh, baru kali ini aku merasa kesal terhadap istriku atas kegemarannya itu.
"Tapi mungkin secara kebetulan saja dia memilih rumah secara acak dan ternyata rumahku yang sedang sial."
Omes menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian menatapku tajam.
"Saya sebenarnya juga memiliki belasan teori lain tentang kejadian ini. Namun, teori orang dalam sebagai pelakunya yang sedang saya selidiki ini merupakan teori dengan tingkat persentase kemungkinan terbesar dibanding teori lainnya. Biarlah saya menyelidikinya terlebih dahulu hingga saya mendapatkan semua faktanya. Toh, kau tidak rugi apa-apa kan. Jika ternyata saya salah, maka saya sarankan kau memanggil pihak yang berwenang karena pelakunya sudah di luar jangkauan kita."
Dengan itu hilanglah semua niatku untuk bersikeras kalau malingnya adalah orang luar.

Tak lama kemudian, sampailah kami di rumah Bella. Kulihat Ibu Bella, Bu Danu, sedang menyirami halaman rumahnya yang banyak ditanami berbagai macam bunga.
"Hei, kau tidak akan bertanya macam-macam kan?" tanyaku.
"Apa maksudmu?"
"Kau akan menginterogasinya, kan?"
"Menginterogasi anak kecil? Jangan berpikiran aneh-aneh. Saya punya cara sendiri, lihat saja nanti."
Omes lalu menyapa Bu Danu sambil tersenyum ramah.
"Pagi Bu.."
"Eh, Pak Omes dan Pak Wilson. Tumben nih. Ayo silahkan masuk." Bu Danu mempersilakan kami duduk di dalam ruang tamunya.
Ketika aku duduk, kurasakan pantatku tak nyaman. Aku bangkit dan mengambil benda yang bentuknya sudah tak karuan karena telah kududuki tadi.
"Nggak apa-apa, Pak Wilson. Itu kerjaannya si Bella. Dia sedang suka membuat perahu kertas, katanya baru diajarin sama gurunya."
"Omong-omong, Bella kemana? Kok dari tadi tidak kelihatan?" tanya Omes kemudian.
"Bella sedang keluar, diajak ayahnya bermain ke pantai."
Omes dan aku kemudian saling berpandangan, rasanya ingin tertawa karena tidak ada seorang pun yang berhasil kami temui dari ketiga "tersangka" kami.
Setelah berbasa-basi sebentar, akhirnya kami pamit dari sana.

Nah, sekarang bagaimana? Kami tidak mendapatkan satupun keterangan dari ketiga orang yang kami curigai. Semuanya sedang tidak berada di rumah.
"Kau tahu," Omes angkat bicara, "alasan kenapa saya mengajakmu untuk ikut mendatangi rumah mereka? Ya, tak lain adalah untuk mengamati ekspresi wajah mereka saat melihatmu. Jika benar orangnya adalah salah satu dari mereka, dia pasti akan terkejut melihat kehadiranmu dan menyangka perbuatannya telah diketahui. Memang ada orang yang bisa menyembunyikan ekspresi dan perasaan dengan sangat baik. Tapi dengan berasumsi kalau pelakunya adalah amatiran, saya menyingkirkan kemungkinan tadi."
"Jadi, sia-sia kan pencarian kita tadi?"
"Tidak ada yang sia-sia di dunia ini, semuanya berguna. Saya hanya perlu memikirkan hal ini dengan seksama..."
Perkataan Omes semakin lama semakin mirip dengan gumaman saja. Matanya lalu menerawang jauh ke langit biru di atas sana. Aku heran dia tidak tersandung sewaktu melakukan itu sambil berjalan.
Tiba-tiba dia menepuk jidatnya dan berseru.
"Dear me, kenapa aku baru menyadarinya. Ah, tidak. Pasti sudah terlambat. Kita telah kalah langkah. Jika saja kau segera menyadari pintumu sudah dirusak kemarin malam, dan bukan baru pagi ini, mungkin masih ada harapan, Wilson. Sial sekali."
Aku tidak mengerti apa maksud perkataannya itu. Sepertinya ada dua tubuh yang sedang berkonflik pada diri Omes. Dia berbicara seperti orang gila.
"Apa kau sudah tahu siapa malingnya?"
"Bahkan semuanya. Tapi itu semua sudah tidak berguna, tanpa bukti itu kita tak mungkin bisa membuat maling itu mengaku."
"Bukti apa?"
"Apa kau belum sadar juga? Ayolah, apa yang kulihat selama pencarian kita ini kan kau lihat juga."
Kembali aku membayangkan pencarian kita ini mulai dari rumahku, pos satpam, rumah Pak RT, lalu...itu dia! Pasti dia melihat sesuatu di rumah Bu Isti tadi. Tapi entah kenapa, jawaban ini tak memuaskanku.

Suara sepeda motor yang lewat membuyarkan lamunanku. Ternyata yang mengendarainya adalah seorang...oh, tak disangka, Omes menyuruhnya untuk berhenti dan mulai melancarkan beberapa pertanyaan.
"Dalam seminggu ini, sudah berapa kali Anda ke sini?"
"Engg, 4 kali mungkin. Kenapa?"
"Dan apakah..." aku tidak lagi mendengar kata-kata Omes selanjutnya karena hp-ku berbunyi. Ternyata istriku yang menelepon. Segera kutekan tombol reject dan kembali menyimak percakapan mereka.
"Ya benar, yang ini sudah kedua kalinya," jawabnya seraya pergi meninggalkan kami.
Lalu kulihat Omes tampak senang. Senyum mengembang di mulutnya dan matanya berbinar-binar.
"Kita beruntung, Wilson."
Aku terbengong-bengong karena tidak tahu apa yang sedang dia maksud.
"Sabar sebentar, Wilson," katanya seolah-olah mengetahui kebingunganku, "saya akan segera menjelaskan misteri ini setelah kita mendapatkannya," kata Omes sambil berjalan dengan langkah lebar-lebar.
Aku merasakan adrenalin terpompa ke darahku yang beku. Secercah cahaya mentari pagi menyeruak menembus awan tebal di langit sana. Sinarnya tepat jatuh ke arah tetanggaku yang kini sudah berada jauh di depanku. Aku segera berlari menyusulnya. Berlari mengejar cahaya pengusir keraguan itu.

0 comments:

Post a Comment