Wednesday 22 September 2021

Crime: My Neighbour is Sherlockian




 Memang menyebalkan kalau saat kita sedang asyik tidur kemudian dibangunkan secara paksa, sengaja atau tidak. Seperti pagi ini, padahal baru saja sekitar 2 jam yang lalu tertidur setelah bangun untuk makan sahur, si kecil yang baru beranjak 9 bulan sudah teriak-teriak minta "sarapan". Untung saja istriku sudah terbangun dari sejak sahur tadi dan memang dia punya kebiasaan untuk tidak tidur lagi setelah makan sahur, jadi anakku tidak menangis terlalu lama. Tapi itu semua sudah tidak ada gunanya karena mata dan otakku sudah benar-benar terjaga dan menolak untuk berkompromi dengan badanku yang masih saja merasakan kuatnya tarikan gravitasi kasur.

Akhirnya, kuseret kakiku ke wastafel untuk sekedar mencuci muka dan kemudian menuju halaman belakang agar aku bisa mengirup udara pagi yang segar sembari meregangkan otot-otot yang kaku. Aku lebih menyukai halaman belakang daripada teras di depan rumah untuk sekedar berolahraga ringan. Bukannya apa-apa, aku hanya tidak senang para tetangga memelototi celanaku yang mungkin saja melorot waktu aku sedang membungkuk, walaupun saat ini sudah hampir tidak ada orang di perumahan ini karena ditinggal mudik oleh para penghuninya.

Ketika kubuka pintu menuju halaman belakang, badanku yang lemas tadi tiba-tiba hampir terlompat saking kagetnya bagai tersengat listrik. Handle dan anak kuncinya kini sudah tidak keliatan seperti biasanya lagi, seperti habis dibongkar dengan paksa karena memang kelihatan ada bekas pencongkelan di sana-sini. Aku segera berteriak memanggil istriku.
"Ma, kok pintunya rusak?"
"Pintu apa sih, Pa?" Rupanya dia masih berada di dalam kamar.
"Kesini dulu deh." Segera setelah dia menghampiriku, aku memperlihatkan pintu yang rusak itu.
"Lho, Mama gak tau. Tadi malem Mama kunci pintunya pas mau berangkat tarawih masih bener, kok."
"Jadi Mama gak buka pintunya dari semalem ya? Hmm, masa' maling sih, Ma?" tanyaku dengan nada menggantung.
"Apa yang diambil, Pa? Perasaan perabotan masih ada semua waktu pagi tadi mama bersih-bersih." Suaranya terdengar khawatir sekaligus tak percaya.
"Coba liat-liat lagi deh. Cek juga surat-surat berharga sama perhiasan Mama."

Sesaat setelah istriku pergi, aku termenung mengamati pintu belakang yang sudah rusak itu. Kucoba untuk tetap tenang dan memikirkan masalah ini dengan kepala dingin. Aku juga melihat keadaan sekitar halaman belakang dan berusaha merekonstruksi dalam pikiran bagaimana maling itu bisa masuk ke dalam rumah.
Tepat saat aku membayangkan si maling ini melompati salah satu dinding di samping rumah yang bersebelahan dengan rumah tetangga, tiba-tiba saja kulihat sesosok kepala yang matanya memandangiku dengan tajam. Aku kaget bukan main. Rupanya hanya di permukaan saja aku bisa mengatur ketenanganku, jantungku berdegup dengan sangat kencang hingga rasanya seperti akan meledak.
Dan sesosok kepala itu kemudian menyeringai memamerkan barisan giginya yang tampak putih dan teratur. Terlebih lagi dia menyapaku,
"Pagi Pak Wilson...Wah, wah, sepertinya saya sudah membuat kaget Bapak. Maaf kalau kesannya menguping, tapi tadi saya mendengar ribut-ribut dari arah rumah Bapak dan rasa keingintahuan saya yang besar memaksa tubuh saya mengambil tindakan seperti ini."

Aku tertegun beberapa detik, tidak tahu harus berbuat apa. Ternyata sosok kepala yang tadi mengagetkanku itu adalah tetangga sebelahku, Pak Omes. Tidak banyak yang kutahu dari dirinya, kecuali kenyataan bahwa dia tinggal sendirian. Kuakui, aku memang kurang bergaul dengan tetangga sekitar. Berbanding terbalik dengan istriku, dia sepertinya tahu latar belakang dan pekerjaan hampir semua orang di lingkungan perumahan ini.
"Jadi, ada apa Pak Wilson?" tanyanya.
"Tuh," aku mengangkat bahu sembari menunjuk pintu belakang, "sepertinya saya habis kemalingan semalam".
"Hah?" Dari nada suaranya, dia terdengar terkejut mendengar perkataanku tadi. Kuamati wajahnya yang semula menunjukkan sikap ramahnya kini berubah serius. Yang lebih mengejutkan lagi, dia kemudian melompati dinding setingi hampir 2 meter itu dan berjalan menghampiriku.
"Permisi sebentar," ucapnya sambil mengamati pintu belakangku. Tak beberapa lama, dia menggumamkan sesuatu. Aku hampir-hampir yakin dia bergumam 'amatiran' atau semacam itulah.
"Lho, ada Pak Omes," seru istriku yang tampaknya sudah selesai melakukan tugasnya, "kok tadi gak denger ya ada orang masuk dari pintu depan?"
"Halo Bu Wilson. Maaf bertamu pagi-pagi begini dan memang saya tidak masuk dari pintu depan," sahut tetanggaku sambil tersenyum ramah. Ah, rupanya dia sudah kembali ke sikapnya yang semula.
"Hah, jadi lewat mana?" tanya istriku yang segera kupotong dengan pertanyaan juga.
"Ada yang hilang nggak, Ma?
"Sudah mama periksa semua, Pa. Tapi beneran deh, gak ada yang hilang."
"Aneh sekali kalo begitu. Mungkin malingnya tidak sempat mengambil apapun karena kita sudah keburu datang." Ya, sepertinya itu memang alasan yang paling masuk akal.
"Ehem..." hampir saja aku melupakan Pak Omes ada di sebelahku, "keberatankah kalau Pak Wilson menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, mungkin saya bisa membantu."
Aku melirik ke istriku, meminta persetujuannya. Dia mengangkat kedua alisnya dan sambil menghela napas, aku menceritakan semuanya secara singkat.

"Oh, jadi kalian merasa tidak ada sesuatu yang hilang ya. Walaupun ada bekas-bekas rumah Anda dimasuki secara paksa. Aneh sekali kan."
"Aku juga sudah bicara seperti itu tadi, Pak Omes," sindirku tak sabar dan kurasakan dadaku disikut oleh istriku yang sepertinya tidak suka dengan ucapanku tadi.
"Apa dia salah memasuki rumah ya? Mungkin dia berniat memasuki salah satu rumah kosong di sekitar sini dan mengira rumah kita ini juga kosong."
"Entahlah, Ma. Kejadian ini membuatku bingung. Biasanya jika kemalingan, hal yang paling diperhatikan adalah siapa orang yang melakukannya, kan. Tapi sekarang ini, benda yang diambilnya saja kita tidak tahu."
"Kalau masalah siapa yang mengambilnya sih, sepertinya bukan hal yang sulit," sahut Pak Omes
Aku memandanginya dengan heran. Mana mungkin dia bisa tahu siapa orangnya sedemikian cepat.
"Siapa?"
"Sabar dulu, Pak Wilson. Segala sesuatu itu harus dilakukan secara teratur dan metodis. Bahaya sekali jika kita mengambil kesimpulan dengan sembarangan. Yang kita butuhkan saat ini adalah data dan fakta. Oleh karena itu, tolong jawab dengan jujur, baru-baru ini apakah kalian pernah menerima tamu dari luar perumahan ini? Eh, tidak pernah. Ya, ya, ini petunjuk yang bagus sekali. Tepat seperti dugaan saya semula. Omong-omong, apakah kalian selalu mengunci pintu kamar tidur jika bepergian? Disana kan kalian menyimpan semua benda berharganya?"
"Ya benar, kami selalu menguncinya. Sudah menjadi kebiasaan. Masih terkunci kan semalem, Ma?"
"Masih, Pa. Mama ingat betul."
"Tapi kalian tidak mengecek pintu belakangnya juga ya. Sebab itu kalian baru mengetahui sekarang kalau pintunya sudah dirusak."
Hening sebentar. Semua orang sepertinya sedang memikirkan kejadian aneh itu. Tak berapa lama, Pak Omes kembali angkat bicara.
"Boleh saya melihat-lihat rumahnya?"
Aku pun mempersilahkannya memasuki rumah kami. Sebenarnya aku sempat heran juga dia berkata begitu tadi. Toh, rumah kita setipe dan pasti tata letak ruangannya sama saja. Yang membedakan mungkin hanya perabotannya saja. Tapi aku tidak sempat menanyakannya, karena dia sudah ngeloyor pergi ke teras depan rumah.

"Perasaan baru 2 minggu yang lalu Bu RT sekeluarga jalan-jalan ke luar kota, sekarang dia sudah pergi lagi. Dia punya hobi yang sama denganmu, Wilson."
Walaupun nada bicaranya terdengar biasa saja, kulihat ekspresi wajah Omes tampak tak begitu senang. Dia menundukkan kepalanya begitu dalam sampai-sampai dagunya menyentuh dadanya. Kemudian dia memutuskan untuk melihat keadaan rumah keluarga Bu Isti sebelum menuju ke rumah Bella.
Tampaknya tidak ada yang aneh di sana. Namun tak diduga-duga, Omes melompati pagar rumah itu dan mencoba mengintip ke dalam lewat jendela. Dia mendapati salah satu jendela belum terkunci dan sambil menoleh ke arahku, Omes mengangkat kedua alisnya seolah-olah mengatakan, 'mereka benar-benar terburu-buru, hingga lupa menutup jendela ini'. Omes lalu mengambil sebuah pot yang tumbuhannya memiliki batang yang tinggi dan meletakkannya di depan jendela yang tidak terkunci itu, mungkin maksudnya untuk menyamarkannya dari pandangan orang yang memiliki niat tidak baik.

"Yah begitulah tetanggaku Wilson," katanya dalam perjalanan kami menuju ke rumah Bella, "kita memang tak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan. Sekarang yang tersisa cuma gadis kecil 7 tahun yang secara logis tidak mungkin bisa melompati dinding yang tingginya dua kali dari tinggi badannya."
"Entahlah," kemudian aku ingat dia masih belum menyelesaikan penjelasannya tentang keyakinannya kalau pelaku kejadian ini adalah orang dalam perumahan, aku mencoba untuk memancingnya lagi. "Bisa saja kan pelakunya malah bukan salah satu diantara mereka bertiga?"
"Curiga saja kau ini, Wilson. Saya akan menyimpulkan hal tersebut jika penyelidikan ini sudah menemui jalan buntu. Seperti sudah saya bilang tadi, perumahan ini dibangun dengan sistem keamanan yang tinggi. Hal itu yang membuat saya mengesampingkan teori kalau pelakunya orang luar. Juga dari bekas-bekas perusakan yang saya lihat, itu pekerjaan orang amatir. Dengan kata lain, dia tidak pernah melakukan tindakan ini sebelumnya. Ditambah lagi, dia tahu kebiasaanmu."
Aku mengerutkan dahi keheranan dengan pernyataan terakhirnya.
"Kebiasaan?"
"Ya, kebiasaan sehari-seharimu, yang hanya bisa diketahui oleh orang yang tinggal berdekatan denganmu."
"Kebiasaan apa?"
"Kau hampir pasti berangkat tarawih bersama istrimu saat akhir pekan atau sedang hari libur seperti seperti sekarang ini. Saat hari-hari kerja, kadang-kadang pulangmu bisa sampai malam sehingga tidak mungkin mengikuti tarawih di masjid."
"Wah, ada ya tetangga yang seperti itu?"
"Kalau pun mereka tidak hobi mengamati seperti yang biasa saya lakukan," aku bergidik ngeri dengan perkataannya barusan, "pastilah dia mendengarnya dari istrimu yang memang gemar bersosialisasi dengan para tetangga."
Itulah sebabnya terkadang aku benci kalau istriku sedang ngerumpi dengan ibu-ibu di sini.
"Yah, sebenarnya aku bukan muslim yang baik, istriku lah yang sering menyuruh agar kami berangkat bersama. Saat sedang shalat, anak kami dititipkan ke..."
"Orang yang sering datang ke rumahmu tuk bantu-bantu membersihkan rumah kan?" selanya. "Tidak usah terkejut begitu, istrimu juga yang bercerita."
Sungguh, baru kali ini aku merasa kesal terhadap istriku atas kegemarannya itu.
"Tapi mungkin secara kebetulan saja dia memilih rumah secara acak dan ternyata rumahku yang sedang sial."
Omes menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian menatapku tajam.
"Saya sebenarnya juga memiliki belasan teori lain tentang kejadian ini. Namun, teori orang dalam sebagai pelakunya yang sedang saya selidiki ini merupakan teori dengan tingkat persentase kemungkinan terbesar dibanding teori lainnya. Biarlah saya menyelidikinya terlebih dahulu hingga saya mendapatkan semua faktanya. Toh, kau tidak rugi apa-apa kan. Jika ternyata saya salah, maka saya sarankan kau memanggil pihak yang berwenang karena pelakunya sudah di luar jangkauan kita."
Dengan itu hilanglah semua niatku untuk bersikeras kalau malingnya adalah orang luar.

Tak lama kemudian, sampailah kami di rumah Bella. Kulihat Ibu Bella, Bu Danu, sedang menyirami halaman rumahnya yang banyak ditanami berbagai macam bunga.
"Hei, kau tidak akan bertanya macam-macam kan?" tanyaku.
"Apa maksudmu?"
"Kau akan menginterogasinya, kan?"
"Menginterogasi anak kecil? Jangan berpikiran aneh-aneh. Saya punya cara sendiri, lihat saja nanti."
Omes lalu menyapa Bu Danu sambil tersenyum ramah.
"Pagi Bu.."
"Eh, Pak Omes dan Pak Wilson. Tumben nih. Ayo silahkan masuk." Bu Danu mempersilakan kami duduk di dalam ruang tamunya.
Ketika aku duduk, kurasakan pantatku tak nyaman. Aku bangkit dan mengambil benda yang bentuknya sudah tak karuan karena telah kududuki tadi.
"Nggak apa-apa, Pak Wilson. Itu kerjaannya si Bella. Dia sedang suka membuat perahu kertas, katanya baru diajarin sama gurunya."
"Omong-omong, Bella kemana? Kok dari tadi tidak kelihatan?" tanya Omes kemudian.
"Bella sedang keluar, diajak ayahnya bermain ke pantai."
Omes dan aku kemudian saling berpandangan, rasanya ingin tertawa karena tidak ada seorang pun yang berhasil kami temui dari ketiga "tersangka" kami.
Setelah berbasa-basi sebentar, akhirnya kami pamit dari sana.

Nah, sekarang bagaimana? Kami tidak mendapatkan satupun keterangan dari ketiga orang yang kami curigai. Semuanya sedang tidak berada di rumah.
"Kau tahu," Omes angkat bicara, "alasan kenapa saya mengajakmu untuk ikut mendatangi rumah mereka? Ya, tak lain adalah untuk mengamati ekspresi wajah mereka saat melihatmu. Jika benar orangnya adalah salah satu dari mereka, dia pasti akan terkejut melihat kehadiranmu dan menyangka perbuatannya telah diketahui. Memang ada orang yang bisa menyembunyikan ekspresi dan perasaan dengan sangat baik. Tapi dengan berasumsi kalau pelakunya adalah amatiran, saya menyingkirkan kemungkinan tadi."
"Jadi, sia-sia kan pencarian kita tadi?"
"Tidak ada yang sia-sia di dunia ini, semuanya berguna. Saya hanya perlu memikirkan hal ini dengan seksama..."
Perkataan Omes semakin lama semakin mirip dengan gumaman saja. Matanya lalu menerawang jauh ke langit biru di atas sana. Aku heran dia tidak tersandung sewaktu melakukan itu sambil berjalan.
Tiba-tiba dia menepuk jidatnya dan berseru.
"Dear me, kenapa aku baru menyadarinya. Ah, tidak. Pasti sudah terlambat. Kita telah kalah langkah. Jika saja kau segera menyadari pintumu sudah dirusak kemarin malam, dan bukan baru pagi ini, mungkin masih ada harapan, Wilson. Sial sekali."
Aku tidak mengerti apa maksud perkataannya itu. Sepertinya ada dua tubuh yang sedang berkonflik pada diri Omes. Dia berbicara seperti orang gila.
"Apa kau sudah tahu siapa malingnya?"
"Bahkan semuanya. Tapi itu semua sudah tidak berguna, tanpa bukti itu kita tak mungkin bisa membuat maling itu mengaku."
"Bukti apa?"
"Apa kau belum sadar juga? Ayolah, apa yang kulihat selama pencarian kita ini kan kau lihat juga."
Kembali aku membayangkan pencarian kita ini mulai dari rumahku, pos satpam, rumah Pak RT, lalu...itu dia! Pasti dia melihat sesuatu di rumah Bu Isti tadi. Tapi entah kenapa, jawaban ini tak memuaskanku.

Suara sepeda motor yang lewat membuyarkan lamunanku. Ternyata yang mengendarainya adalah seorang...oh, tak disangka, Omes menyuruhnya untuk berhenti dan mulai melancarkan beberapa pertanyaan.
"Dalam seminggu ini, sudah berapa kali Anda ke sini?"
"Engg, 4 kali mungkin. Kenapa?"
"Dan apakah..." aku tidak lagi mendengar kata-kata Omes selanjutnya karena hp-ku berbunyi. Ternyata istriku yang menelepon. Segera kutekan tombol reject dan kembali menyimak percakapan mereka.
"Ya benar, yang ini sudah kedua kalinya," jawabnya seraya pergi meninggalkan kami.
Lalu kulihat Omes tampak senang. Senyum mengembang di mulutnya dan matanya berbinar-binar.
"Kita beruntung, Wilson."
Aku terbengong-bengong karena tidak tahu apa yang sedang dia maksud.
"Sabar sebentar, Wilson," katanya seolah-olah mengetahui kebingunganku, "saya akan segera menjelaskan misteri ini setelah kita mendapatkannya," kata Omes sambil berjalan dengan langkah lebar-lebar.
Aku merasakan adrenalin terpompa ke darahku yang beku. Secercah cahaya mentari pagi menyeruak menembus awan tebal di langit sana. Sinarnya tepat jatuh ke arah tetanggaku yang kini sudah berada jauh di depanku. Aku segera berlari menyusulnya. Berlari mengejar cahaya pengusir keraguan itu.

The Girl Who Sat Idly

 


 

Ada beberapa saat ketika kita benar-benar mendambakan keheningan walau hanya sejenak dalam dunia yang tidak pernah berhenti bicara. Sebagian orang memilih mengunci diri di dalam kamarnya, tenggelam dalam buaian nada lagu kesukaannya atau menyepi ke sebuah pulau kecil, dengan hanya ditemani deburan ombak dan belaian hangat angin pantai. Sedang tempat pilihanku adalah di sini, di sebuah perpustakaan sekolah yang kebanyakan pengunjungnya hanyalah para murid yang berebutan menggunakan komputer berinternet untuk membuka beberapa situs sosial media macam Facebook dan Twitter secara sembunyi-sembunyi daripada menikmati bacaan dari buku atau majalah yang makin lama makin berdebu dan digerogoti kutu.
Kubanting pantatku ke sebuah kursi empuk khusus petugas perpustakaan, mengistirahatkan kakiku yang pegal setelah lama berdiri usai mengajar Bahasa Inggris di kelas 8-D. Selain mengajar, di SMP ini aku juga diserahi tanggung jawab mengurus perpustakaan. Walau sebenarnya aku yang mengajukan diri dalam rapat kala pendahuluku mengumumkan pengunduran dirinya.

Seperti biasa, ruang perpustakaan masih kosong. Hanya tampak Yunita, pegawai magang yang baru beberapa bulan di sini, sedang merapikan rak buku di sudut perpustakaan yang memuat buku-buku pelajaran mengenai ilmu geografi. Ia lantas menyambutku dengan suara empuknya yang khas.
"Pagi, Bu Laras."

"Pagi juga. Nah, lebih cantik rambutmu dipotong pendek sebahu begitu, kan. Kenapa kamu tidak melakukan saranku dari dulu-dulu?"

"Ah, Ibu bisa saja," jawabnya malu-malu lalu melangkah mendekatiku.

Kuperhatikan ada sebuah buku dalam keadaan terbuka ditelungkupkan di meja baca.
"Buku itu," kataku sambil menunjukkan jari, "siapa yang baca?"

"Oh iya, tadi ada seorang anak cewek dari kelas 8-A sedang mencari Ibu. Dia bilang mau ke luar sebentar."

8-A adalah kelas dimana aku menjadi wali kelasnya. Aneh, memangnya ia sedang tidak ada pelajaran? Soalnya sekarang belum masuk waktu istirahat. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu perpustakaan. Seketika Yunita dan aku berpaling.

"Permisi, Bu Laras."

"Itu dia anaknya," seru Yunita.

"Masuk sini, Din," sahutku. Ternyata anak cewek yang dimaksud Yunita tadi adalah Dini. Sebenarnya aku tidak terlalu hafal dengan nama murid-murid yang kuajar. Kecuali kalau dia paling menonjol dalam kelasnya, baik dalam artian positif maupun negatif. Dini termasuk contoh yang menonjol dari segi positif, anaknya pintar dan cepat menangkap pelajaran. Walaupun ia hampir selalu memasang tampang murung, sepengetahuanku dia tidak pernah terlibat masalah berarti dengan temen sekelasnya.
Setelah ia mengambil tempat duduk di depanku, aku segera bertanya. "Ada apa?"

"Ng, saya kehilangan HP, Bu," cetus Dini, kepalanya ditundukan dalam-dalam.

"Hah, HP yang handphone itu?" sontak Yunita menimpali.

Aku langsung menoleh dan meliriknya tajam, berharap ia segera menyadari posisinya saat ini. Butuh sekian detik untuk Yunita mengerti isyarat yang kuberikan, kemudian ia beranjak pergi sambil menggumamkan sesuatu yang tak jelas.

"Hilang dimana, Din?"

"Di kelas. Saat itu saya sedang mengerjakan tugas dari Pak Randu yang hari ini tidak bisa mengajar karena sakit. Karena teman-teman ribut sehingga mengganggu konstentrasi, jadi saya memutar musik melalui HP. Tak lama, Frestya datang dan meminta saya untuk menemaninya ke kamar kecil," jelasnya. "Sekembalinya kami dari sana, HP yang sebelumnya di atas meja sudah tidak ada. Saya kira, ini bukan perbuatan iseng teman-teman seperti sengaja disembunyikan untuk membuat saya kebingungan. Karena saya sempat menggunakan HP milik Frestya untuk mengeceknya. Namun dari nadanya, seperti sudah dimatikan. Seperti nasihat Bu Laras, tanpa memberitahu siapa-siapa, saya segera kemari."

Memang aku pernah memberi wejangan kepada para muridku, jika ada sesuatu terjadi di lingkungan kelas, mereka harus memberitahuku dulu. Ini gara-gara kejadian beberapa bulan lalu, saat itu seluruh kelas heboh bukan main gara-gara ada seorang murid yang mengaku kehilangan dompet berikut uangnya. Murid itu tanpa babibu lagi, langsung menuduh teman sebangkunya. Tak terima, terjadi adu mulut hingga baku hantam, sampai- sampai seluruh murid di kelasku ikut-ikutan berkelahi. Setelah diusut, ternyata ada seorang murid yang usil menyembunyikan dompet itu. Niatnya bercanda malah berujung keributan seperti itu.

"Siapa saja yang di kelas saat itu?" Tanyaku penuh selidik.

"Banyak, saya tidak bisa mengingat semuanya."

"Surya ada?"

Hening sebentar, mungkin Dini mengerti mengapa aku menyebut namanya.

"Ya, ada. Saya rasa Surya sedang tiduran di bangku belakang."

Aku menghela napas panjang. "Kalau begitu, tolong suruh dia ke sini. Tapi jangan kamu kasih tahu alasannya. Setelah itu, kamu tunggu di depan ruang guru, ya..."

Dini mengangguk dan berbalik. Sebelum keluar, ia masih sempat mengembalikan buku yang tadi dibacanya ke dalam rak buku.

Surya, si preman kelas. Dia salah satu contoh murid yang pasti ada di setiap sekolah. Tukang bully, bandel, pembuat onar, tak pernah menyimak pelajaran, dan seterusnya, dan sebagainya.
Sosoknya yang tinggi sekaligus gempal dan rambut bergaya mohawk, dengan mudah kukenali dari kejauhan ketika ia berjalan kemari dengan lambannya. Pertanyaannya, bagaimana aku harus bersikap terhadap anak ajaib satu ini?

"Ya, Bu?" ucapnya begitu ia berada di hadapanku sambil berkacak pinggang.

"Duduk." Kurasa ini jawabannya. Surya akan kutangani dengan tegas serta tanpa basa-basi.
"Tadi ada temanmu yang lapor ke Ibu kalau dia baru saja kehilangan HP-nya. Kamu tahu?"

"Tahu apa? Mana aku tahu hal macam itu!" dengusnya kesal.

"Sewaktu jam kosong tadi, kamu dimana?"

"Di kelas. Tidur. Puas?"

Aku hendak membalas bentakannya tadi, tetapi seketika itu juga dia melanjutkan perkataannya.

"Gini deh, Bu. Ibu kan tahu, minggu kemarin saya baru dipanggil untuk menghadap Pak Kepsek akibat kasus pemalakan itu, kemudian diberi hukuman. Nah, hukumannya itu kalau saya terlibat kasus lagi, maka saya akan dikeluarkan dari sekolah. Terus terang saja, saya masuk sekolah ini karena tertarik dengan tim basketnya yang terkenal hebat dan menjadi pebasket adalah cita-cita saya. Sebab itu, saya berusaha untuk tidak terlibat dalam kasus apa pun sekarang. Boleh saja Ibu mengira saya ini murid yang nakal atau bodoh, saya tidak peduli. Tapi saya bukan pembohong. Lagipula, kalau hanya HP saya juga punya," katanya sambil mengeluarkan sebuah HP dari dalam saku celananya dan mengulurkannya padaku. "Nih, Ibu periksa sekalian, apa sama dengan HP anak yang kehilangan itu. Omong-omong, siapa sih dia?"

Aku tak segera menjawab pertannyaannya. Perhatianku sedang tertuju pada wallpaper yang digunakan Surya pada HP-nya. Wallpaper itu berupa foto dirinya memakai seragam basket sekolah.
"Dini Pradita."

"Dini?" Surya membeo. "Ah, saya ingat beberapa hari lalu dia berseteru dengan duo keong racun. Dini rupanya kehabisan kesabaran lantaran mereka terus-terusan mengejek HP miliknya."

"Tolong kamu panggil mereka ke sini, Sur.

"Ya," balasnya singkat lalu mengambil kembali HP miliknya dan memasukkannya ke dalam saku celana.

====


Tak lama kemudian Eva dan Dewi tiba, mereka berdualah yang disebut sebagai duo keong racun oleh Surya dan kebanyakan murid di kelasku. Alasan mereka berdua disebut begitu aku juga tidak mengerti, mungkin anak-anak hanya mengaitkannya karena mereka selalu terlihat kompak berdua. Kompak dalam konotasi yang tidak baik.

"Kata Surya, Ibu ada perlu dengan kami," ujar Eva tanpa menatap wajahku. Jari telunjuknya terus memilin-milin rambutnya. Dewi yang berada di samping kanan Eva juga sibuk sendiri tak memperhatikanku. Matanya tampak terpaku pada layar HP-nya.

Aku menghela napas panjang. "Ibu dengar beberapa hari lalu kalian sempat bertengkar dengan Dini gara-gara kalian menjelek-jelekan HP Dini. Betul begitu?"

Mereka berdua lantas saling berpandangan. Eva terkekeh perlahan, sedang Dewi menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali bermain dengan HP miliknya.
"Ah, Ibu berlebihan." Jawab Eva dengan nada yang dimanis-maniskan. Ia meneruskan, "Sebenarnya waktu itu kami sedang bercanda. Apa Ibu belum pernah melihat HP-nya? Layarnya retak, casing-nya ditempeli banyak sticker mungkin untuk menutupi bagian yang terkelupas atau berkarat, dan modelnya juga sudah agak jadul. Pokoknya norak, deh. Lagipula kejadiannya kan sudah lama. Mengapa anak itu baru sekarang mengadu kepada Ibu?"

Seketika Dewi menimpali sahabatnya, "Mungkin dia punya cacat otak jadi butuh waktu lama untuk merespons kata-kata kita, Ev."
Dan meledaklah tawa mereka berdua.

Kubayangkan diriku mendadak bangkit sambil menggebrak meja. Menampar pipi kedua anak itu sambil mengeluarkan sumpah serapah. Namun kemarahan hanya menghabiskan energi tanpa pernah menghasilkan solusi. Aku kembali menghirup udara dalam-dalam, menjejalkannya ke paru-paru, lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Huff.
"Dini memang mengadukan sesuatu kepada Ibu, tapi bukan tentang perselisihannya dengan kalian. Ibu mengetahui hal itu dari orang lain. Dini baru saja kehilangan HP saat ia tinggal ke toilet."

Eva dan Dewi kembali tertawa.

"Oh, jadi Ibu menuduh kami yang mengambil HP Dini yang jelek itu?" kata Eva setelah tawanya berhenti.

"Barangkali, Bu Laras belum tahu ya Ev, kalau harga HP kita bisa 5 kali lipat dari punya Dini," sambung Dewi.

Saatnya melakukan serangan balasan. "Mengapa kalian bisa begitu bangga? Apa yang sekarang kalian sombongkan itu bukan murni kepunyaanmu melainkan ayah ibu mu. Kalau saja kedua orang tua kalian melihat tingkahmu ini, mungkin mereka akan menyesal sudah melahirkan kalian."

"Terserah!" Hardik Eva seraya membuang muka. "Yang jelas bukan saya yang mengambil HP Dini. Sejak tadi saya dan Dewi berada di kantin."

"Betul, coba saja tanya ibu penjaga kantin. Kami punya alibi. Ayo cabut, Ev!" tambah Dewi tak kalah sengitnya.

"Ayo."

Pergi saja, sekalian yang jauh ke laut, batinku kesal. Kusandarkan punggungku ke kursi, meluruskan punggung yang semakin lelah karena kasus ini. Mataku menerawang menembus jendela perpustakaan ke lapangan basket yang terlihat masih sepi.
Masih terngiang di telingaku kalimat terakhir Dewi sebelum ia dan Eva angkat kaki dari sini. Sesaat aku merasa yakin mereka yang melakukannya berkat informasi dari Surya tadi. Namun seandainya memang benar mereka berdua terus berada di kantin, lalu siapa pelaku sebenarnya?

Sebuah suara lantas membuyarkan lamunanku.
"Siang..."

"Yaa," jawabku enggan. Dari balik pintu nampak sebuah kepala mengintip dengan malu-malu. Tapi dari kacamata berbingkai tebal yang sedang ia kenakan, aku bisa dengan gampang mengenalinya. "Masuk saja, Bintang."

"Begini, Bu Laras," katanya begitu mendekatiku. "Pak Randu tadi memberi tugas matematika karena beliau berhalangan hadir. Ternyata ada salah satu soal yang rumusnya tidak ada di buku pelajaran. Boleh saya memakai komputer perpustakaan sebentar untuk mencari rumus tersebut?" pintanya kemudian.

Nama itu doa. Bintang memang seorang bintang kelas. Hal itu bisa dilihat dari nilai-nilai yang ia peroleh selalu di atas 8. Selain itu ia juga seorang atlet catur dan acap kali menjuarai turnamen yang diikutinya.
"Pakai saja, tidak apa-apa."
Tiba-tiba aku teringat akan kejadian seminggu lalu yang menimpa orang tua Bintang. Mereka terlibat kecelakaan di jalan saat berboncengan naik sepeda motor. Sebuah minibus yang ngebut menerobos lampu merah dan seketika menghajar mereka. Ibu Bintang hanya mendapat beberapa luka lecet di lengan dan kakinya, namun ayahnya tak seberuntung itu. Kepalanya sobek dan harus mendapat 8 jahitan. Kudengar ia juga mengalami gegar otak. "Omong-omong, bagaimana kondisi kesehatan ayahmu? Sudah sehat?"

"Hari ini sudah agak baikan. Tapi Bapak belum bisa bekerja."

"Oh, semoga lekas pulih ya."

Bintang tak menjawab apa-apa, melainkan melemparkan senyuman. Senyum getir yang sama dan sering kulihat pada orang yang menghargai simpati orang lain atas musibah yang terjadi padanya. Mungkin agak berat baginya. Ayahnya cuma seorang tukang tambal ban dan ia juga satu-satunya tulang punggung keluarga. Motor yang dipakai saat terjadi kecelakaan itu milik tetangga yang dipinjamkan kepadanya dan kini sedang rusak berat. Belum puas dengan itu, nasib kembali menghantamnya dengan masalah rumah mereka --kalau tidak mau disebut gubuk sebab saking sederhananya-- yang rencananya bulan depan akan digusur karena berdiri di atas lahan pemerintah bersama puluhan pemukiman liar di areal sana.
Aku kembali teringat akan masalahku.
"Bintang, apa sedari tadi kamu berada di ruang kelas?"

"Iya, saya disana terus."

Dan aku mulai bercerita. Semuanya.
Ekspresi wajah Bintang cenderung datar. Sesekali dia mengerutkan dahi mungkin karena berusaha mengingat sesuatu, namun tak pernah menyela ucapanku.
"Jadi begitulah. Bagaimana menurutmu?"

"Rupanya suara musik yang samar-samar saya dengar selama di kelas itu berasal dari HP Dini, ya. Hmm, tapi saya tak ingat kapan musik itu berhenti. Saya juga tak tahu saat Frestya dan Dini meninggalkan kelas. Kalau mengenai Surya yang tidur di belakang, saya meyakini itu karena bangku yang dia jadikan tempat tidur tepat di belakang saya." Ia melanjutkan, "Begitu juga tentang Eva dan Dewi. Karena setahu saya, mereka langsung melonjak-lonjak kegirangan dan bergegas keluar saat seorang murid dari kelas sebelah memberikan kabar bila Pak Randu tidak bisa mengajar hari ini."

Penuturan Bintang itu melecut nalar, membuka pikiranku. Aku merasa berada di dalam pertunjukan opera, menggambarkan diriku duduk di tengah-tengah kursi penonton menghadap ke sebuah panggung dimana sedang dipentaskan sebuah drama tentang pencurian di suatu ruangan kelas.
Gesekan biola yang merdu menghanyutkan emosiku. Lakon demi lakon dipentaskan dengan apik oleh Dini, Surya, Eva, Dewi, dan terakhir Bintang. Hingga mencapai akhir babak, mereka semua berkumpul berjajar sambil bergandengan tangan. Penerangan menjadi redup. Bunyi drum yang ditabuh dengan cepat dan sebuah lampu sorot berkali-kali menampakkan wajah mereka silih berganti.
Sampai pada akhirnya iringan musik berhenti. Sunyi. Lampu sorot tadi berhenti pada seseorang yang tak pernah kuduga sebelumnya. Tepuk tangan penonton bergemuruh. Tirai diturunkan.

Ternyata dia!

Friday 1 July 2016

[Jawaban] Kumpulan Teka-Teki Kasus Pembunuhan Terpopuler







1. Dua gadis sedang makan malam bersama. Mereka berdua memesan es teh. Salah satu gadis itu meminumnya sangat cepat dan sampai menghabiskan lima gelas sementara gadis satunya baru meminum satu. Namun gadis yang baru minum satu gelas itu malah meninggal, sedangkan yang satunya selamat.
Bagaimana mungkin gadis yang paling banyak minum itu selamat, padahal semua minuman itu beracun?

Karena racun terdapat di dalam es batu. Gadis yang selamat meminum es tehnya dengan cepat sehingga es batu belum sempat mencair jadi racun tidak sampai larut dalam minumannya.

2. Seorang pria ditemukan meninggal dengan sebuah perekam kaset dan pistol di tangannya. Ketika polisi tiba, mereka segera menekan tombol play pada perekam itu. Ternyata kaset itu berisi suara si korban, "Aku sudah tak punya apa-apa lagi. Aku sudah bosan," lalu terdengar bunyi letusan pistol dan suara klik pertanda rekaman berhenti.
Setelah mendengarkannya, polisi menyimpulkan bahwa kasus ini merupakan pembunuhan bukan bunuh diri.
Bagaimana mereka tahu?

Jika pria itu bunuh diri, maka seharusnya rekaman itu akan terus berjalan sampai kaset tersebut habis. Namun faktanya ada bunyi lain yang terdengar setelah pistol meletus. Itu artinya ada orang lain yang menekan tombol stop pada perekam kaset tersebut.

3. Di hari Minggu seorang pria telah terbunuh. Si istri memanggil polisi, yang lantas menanyainya dan orang yang bekerja di rumah korban. Berikut alibi yang mereka berikan:

Tuesday 24 May 2016

Kumpulan Teka-Teki Kasus Kematian Misterius

image by google.com



1. Seseorang ditemukan meninggal di tengah gurun. Tidak ada sesuatu pun di dekatnya, kecuali sebuah ransel yang belum dibuka.

2. Di puncak gunung yang bersalju, seorang pendaki ditemukan tewas. Tampak sebuah pistol tergeletak tak jauh dari jasadnya. Walau terlihat ada bekas pemakaian pada pistol tersebut, namun tak ada luka tembak pada tubuh si pendaki itu.

3. Yuli, seorang ibu dari dua orang anak, baru saja pulang setelah berbelanja di pasar dekat rumahnya. Sebelum memasuki dapur ia melewati ruang tamu, dimana ia melihat suaminya, yang telah memecahkan isi kepalanya sendiri. Seraya menghela nafas, ia melanjutkan langkah ke dapur, mengeluarkan barang belanjaannya, dan bersiap memasak.

Friday 13 May 2016

Ketika Waktu

image by savilerow-style.com


Albert Einstein, si ikon ilmu sains tersebut, mengatakan bahwa waktu itu relatif. Jadi katakanlah kamu sedang dalam perjalanan dari Jakarta ke Bandung, sekembalinya dari sana, kamu merasa bahwa perjalanan pulang ke kota Jakarta terasa lebih cepat daripada saat kamu berangkat tadi. Padahal kecepatan dan jarak yang kita lalui itu sama. Otomatis waktu yang kita tempuh pun sama. Itulah makna relatif tadi. Padahal kita telah membuat satuan ukur waktu; detik, menit, jam, hari, dan lainnya, hanya untuk mendefinisikan si waktu itu tadi, membuat persepsi yang sama bagi semua orang. Meski begitu, tetap saja waktu ialah hal yang misterius bagi kita. Ia tetap tak terukur. Di suatu malam, kita menunggu kekasih yang tak kunjung datang di restoran favorit untuk makan, saat itu kita bisa memperlambat laju waktu. Padahal baru lima menit menunggu, tapi rasanya sudah belasan jam. Di saat lain, ketika dia akhirnya tiba dan kalian mulai menikmati hidangan, saling melemparkan bahan bicara, tertawa bersama, dilatarbelakangi suasana malam yang syahdu dan merdu musik yang mengalun, tiba-tiba seorang pelayan datang memberikan bill sambil mengucapkan permintaan maaf bahwa sudah hampir jam tutup restoran. Seketika kita tersadar, menengok jam tangan, dan terkejut betapa cepat waktu berlalu. Betapa aneh si waktu itu, betapa anomalinya dia. Meski begitu, ia tak dapat dihentikan. Apalagi membuatnya berjalan mundur. Entah sudah berapa kali kita membuat kesalahan, mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Sesering itu juga kita mengharapkan andai bisa mengulang lagi waktu. Memperbaiki kekeliruan tersebut. Harapan yang semu. Mustahil terkabul.
Bagaimanapun juga, kita tidak bisa terus hidup di masa lalu. Mengenang luka hanya akan menimbulkan duka. Jadi terus saja melangkah maju, seperti waktu. Tak terhentikan.

Wednesday 6 January 2016

Soal Matematika Sederhana

 


 

Tentu kita tidak asing lagi dengan operasi hitung pertambahan maupun pengurangan. Bisa dibilang mereka berdua adalah dasar dari matematika. Jadi, saya berasumsi soal berikut ini pastilah mudah untuk dikerjakan;


25-55+(85+65)


Dan kalian pasti takkan percaya kalau saya bilang jawaban dari soal tersebut adalah 5! Bingung kan?!

Friday 27 November 2015

Tentang Nama

Kini aku memilih untuk tak bernama walau sedari kecil orangtuaku sudah memberiku sebuah nama. Itu terjadi setelah aku bertemu dengannya, dia yang tak bernama, ketika aku sedang berjalan-jalan di tengah hutan belasan kilometer jauhnya dari kota. Di sini burung-burung bersiul bersahutan, ingin kawin. Sepasang muda-mudi di semak-semak yang kulewati tadi juga. Tapi mereka tak bersiul melainkan mendesah. Ah, bukan urusanku!

"Siapa kau? Sedang apa kau?" jeritku ketika melihat sosok itu sedang melayang dari satu pucuk pohon ke pucuk pohon lainnya. Koreksi, bukan melayang. Tak ada manusia yang bisa terbang seperti itu. Barangkali dia cuma melompat ataupun berayun. Rupanya efek alkohol semalam masih tersisa. Sosok itu berwujud manusia. Jangkung. Rupawan. Bersih. Mengenakan jubah serba putih. Dan saat ini sedang menyunggingkan senyumnya padaku.
Aku, katanya, sedang mencari udara segar sama sepertimu Tuan. Tetapi pertanyaan pertamamu sukar untuk kujawab.
"Mengapa?"
Lagi-lagi dia tersenyum. Seolah cuma itu satu-satunya ekspresi yang dimilikinya dan dia menjawab. Nama adalah apa yang para manusia buat untuk membedakan diri kalian sendiri. Mengklasifikasikan sesuatu, mengotak-kotakannya padahal kalian sama.
"Namun dengan itu kami bisa tahu mana nama yang baik dan buruk. Kau tak mau kan kupanggil tahi,  misalnya?
Tak mengapa, sahutnya. Mengapa kau memanggil tahi itu tahi. Kalau aku menyebutnya bunga apakah tahi itu lantas menjadi wangi. Kalau kau menyebutnya bunga juga, maka apa yang baik dahulu, kini menjadi buruk bagimu. Tak ada baik dan buruk pada sebuah nama, Tuan. Ketika Tuan merasa telah memiliki sebuah nama yang baik dengan menjelek-jelekkan nama lainnya, saat itu Tuan mempermalukan diri sendiri.
"Berarti apa sejak lahir kau tak dinamai?"
"Karena ketiadaan yang melahirkanku. Aku hadir sebelum apa yang Tuan sebut waktu itu terbentuk. Aku adalah awal sekaligus akhir. Akulah yang tak bernama..."
Kemudian cahaya itu datang, terang sekali. Ternyata yang bercahaya dia. Hening mengendap-endap. Dan dia melesat serupa kilat. Lenyap.
"Jadi dia itu...Dia!"