Friday 13 May 2016

Ketika Waktu

image by savilerow-style.com


Albert Einstein, si ikon ilmu sains tersebut, mengatakan bahwa waktu itu relatif. Jadi katakanlah kamu sedang dalam perjalanan dari Jakarta ke Bandung, sekembalinya dari sana, kamu merasa bahwa perjalanan pulang ke kota Jakarta terasa lebih cepat daripada saat kamu berangkat tadi. Padahal kecepatan dan jarak yang kita lalui itu sama. Otomatis waktu yang kita tempuh pun sama. Itulah makna relatif tadi. Padahal kita telah membuat satuan ukur waktu; detik, menit, jam, hari, dan lainnya, hanya untuk mendefinisikan si waktu itu tadi, membuat persepsi yang sama bagi semua orang. Meski begitu, tetap saja waktu ialah hal yang misterius bagi kita. Ia tetap tak terukur. Di suatu malam, kita menunggu kekasih yang tak kunjung datang di restoran favorit untuk makan, saat itu kita bisa memperlambat laju waktu. Padahal baru lima menit menunggu, tapi rasanya sudah belasan jam. Di saat lain, ketika dia akhirnya tiba dan kalian mulai menikmati hidangan, saling melemparkan bahan bicara, tertawa bersama, dilatarbelakangi suasana malam yang syahdu dan merdu musik yang mengalun, tiba-tiba seorang pelayan datang memberikan bill sambil mengucapkan permintaan maaf bahwa sudah hampir jam tutup restoran. Seketika kita tersadar, menengok jam tangan, dan terkejut betapa cepat waktu berlalu. Betapa aneh si waktu itu, betapa anomalinya dia. Meski begitu, ia tak dapat dihentikan. Apalagi membuatnya berjalan mundur. Entah sudah berapa kali kita membuat kesalahan, mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Sesering itu juga kita mengharapkan andai bisa mengulang lagi waktu. Memperbaiki kekeliruan tersebut. Harapan yang semu. Mustahil terkabul.
Bagaimanapun juga, kita tidak bisa terus hidup di masa lalu. Mengenang luka hanya akan menimbulkan duka. Jadi terus saja melangkah maju, seperti waktu. Tak terhentikan.

0 comments:

Post a Comment